Cerpen
“Pentingnya
Saling Mengerti”
Aku tidak tahu kenapa
orang hanya percaya pada pikiran mereka dan tidak mau mendengarkan orang lain.
. . . . . . . .
Aku akhirnya masuk dan
duduk di pojok ruangan. Aku hanya diam dan menunduk. Menyibukkan diri dengan
ponsel yang sempat aku masukkan ke dalam saku jaket. Tapi sayangnya, hati
penjahit itu terlalu peka dengan apa yang sedang terjadi. Dia bertanya padaku
kenapa aku diam di sudut ruangan. Aku hanya diam. Aku sedikit enggan untuk
menggerakkan bibirku.
Ibu bilang kalau aku
sedang marah. Marah karena enggan untuk mengantarkannya ke tempat penjahit itu.
Aku seperti ada di ujung tombak. Aku ingin menyangkal apa yang di katakan ibuku
adalah tidak benar. Aku tidak marah, tapi aku kecewa dengan ibuku. Kecewa
karena banyak hal. Ibuku terlalu meremehakan tas yang aku suka dan menuduhku
telah menyembunyikan sandalnya agar tidak jadi ke tempat penjahit.
Aku seperti bernafas
tanpa oksigen di rumah penjahit itu. Aku mendengar apa yang aku tidak ingin
dengar. Bukan maksudku untuk membangkang apa yang dikatakan orang yang lebih
tua dariku. Tapi aku menganggap, apa yang mereka bicarakan itu menurut sudut
pandang meraka sendiri sebagai orang tua. Meraka berbicara tanpa memikirkan apa
yang sebenarnya terjadi denganku. Aku menyadari kalau itu salah satu bentuk
kasih sayang orang tua pada anak yang menginginkan anaknya bersikap baik.
Tapi, mereka tidak pernah
ingin tahu apa yang sebenarnya sang anak inginkan. Mereka punya anggapan bahwa
mereka sudah mengenal penuh asam garam kehidupan.
Saat pulang, aku
meneteskan air mata. Aku sudah tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Pasti
dari sudut pandang sebagai orang tua, aku seorang anak yang pembangkang. Oh~
itu istilah yang menyakitkan untukku. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti
hati orang lain, khususnya orang tuaku.
Dalam perjalanan aku
mengumpat dalam dalam hati. Sebenarnya apa yang mereka tahu tentang aku? Bahkan
kadang saat aku ingin berbagi kisah dengan mereka, meraka tidak punya waktu
untuk itu. Memikirkan itu semua membuat air mataku menetes lebih deras.
Di jalan aku berulang
kali bertemu dengan tetanggaku dan aku tidak uluk salam dengan mereka. Aku
seperti sosok yang buruk di perjalanan pulang. Karena kami tinggal di daerah
yang saat kental dengan tradisi jawa *(saling sapa saat bertemu), dengan tidak
uluk salam seperti itu dianggap sebagai tingkah laku yang sombong dan angkuh.
Alasan aku tidak uluk
salam dengan tetanggaku adalah aku tidak ingin mareka tahu kalau aku sedang
menangis. Aku memang tidak uluk salam, tapi aku sedikit menundukkan kepalaku
untuk tanda saling menghormati. Tapi karena kondisi jalan yang sedikit redup,
usahaku ini terlihat sia-sia.
Aku ingat kalau menyapa bisa
dengan membunyikan klakson sepeda motor. Dan di salah satu perempatan jalan,
terlihat ada segerompolan orang-orang yang hendak pergi ke tempat pengajian.
Dan aku melihat kalau pamanku ada di sana. Aku membunyikan klakson bermaksud
untuk menyapa. Tapi aku rasa itu salah! Mereka menganggap kalau aku mengusir
mareka dan meminta jalan untuk lewat.
Aku merasa apa yang aku
lakukan semua salah!
Apa ini hanya pikiranku
saja karena aku sedang emosi???
Aku hanya ingin di dunia
ini tidak ada kesalahpahaman. Itu sungguh menyakitkan!
Aku berharap aku bisa
menyesuaikan pemikiranku dengan pemikiran orang tuaku.
Atau orang tuaku bisa
memahami apa yang aku pikirkan.
Yang kita butuhkan
sekarang adalah saling mengerti.
END
baca juga