Cerpen
“Pentingnya
Saling Mengerti”
Aku tidak tahu kenapa
orang hanya percaya pada pikiran mereka dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Aku tidak menyangka
kejadian akan serunyam ini.
Suatu malam saat aku
sudah berencana untuk rajin dengan mengerjakan tugas saat ada waktu luang agar
tidak repot saat tiba hari di mana tugas itu diminta untuk dikumpulkan. Aku
menyibukkan diri di kamar sehabis mandi. Sampai adzan magrib berkumandang.
Alkhamdulilah, ibuku
mengingatkanku untuk menyegerakan sholat magrib dan beranjak sejenak dengan
kegiatanku yang berkutik dengan laptop. Sehabis sholat aku diminta tolong ibuku
untuk mengantarnya ke tempat penjahit baju untuk membenahi baju yang sudah
kekecilan. Akhir-akhir ini ibuku sudah tidak bisa naik sepeda motor sendiri,
karena kondisi bahu tangan kanannya yang tengah sakit.
Sebelum keluar aku ingat,
kalau salah satu jaketku ada yang resletingnya rusak. Aku bertanya pada ibuku
untuk memperbaikinya. “Mungkin saja itu tidak bisa”, jawabnya. Aku sedikit
kecewa dengan jawaban dari ibuku. Dalam pikiranku, mungkin saja penjahit itu
mau mencarikan resleting yang cocok dengan warna jaketku. Karena aku tidak
sempat mencari, aku selalu pulang sekolah sore. Aku sekolah di luar kota, yang
membutuhkan kurang lebih 1 jam perjalanan.
Akhirnya ibuku bilang
padaku, kalau saja ibu mau tanya apakah penjahit itu bisa mencarikan reslatingnya
atau tidak. Entah kenapa, aku mengambil tas kesukaanku yang sudah sedikit
lusuh. Tas itu resletingnya juga rusak. Aku minta tolong pada ibuku untuk
membawanya sekalian. Ibuku melarangku untuk membawanya.
Aku tidak mengira kalau
ibuku akan bilang seperti itu. Itu tas kesukaanku. Tas yang aku gunakan untuk
memasukkan buku-buku paket yang aku bawa ke sekolah *(kalau dimasukkan ke tas
sekolah, berat). Dengan sedikit raut wajah yang muram aku keluar menghampiri
sepeda motor. Aku berdiri mematung di samping sepeda motor. Aku baru ingat
kalau kunci sepedanya masih di dalam rumah. Aku masuk ke dalam untuk mengambil
kunci. Di pintu masuk aku berpapasan dengan ibuku. Saat aku keluar setelah
mendapatkan kunci sepeda aku lihat ibuku masih bingung mencari salah satu
pasang sandal yang hendak ibuku pakai.
Entahlah, tiba-tiba ibuku
bilang kalau aku yang membuang salah satu sandalnya. Aku hanya diam. Aku
menyalakan mesin dan sedikit menekan rem. Dalam benakku, ibuku akan mudah
mencari salah satu sandalnya dengan bantuan pancaran cahaya merah dari lampu
motor. Tapi, aku rasa ibuku salah mentafsirkan apa yang aku lakukan *(sebagai
tanda untuk segera pergi). Ibuku masuk ke dalam rumah dan mengambil sandal yang
lainnya.
Di perjalanan, aku
sedikit ngebut. Bukan karena marah atau apa. Tapi karena kondisi jalan yang
tengah kosong. Sampai di depan rumah penjahit rasanya aku enggan masuk kesana.
Ibuku sudah masuk ke dalam. Aku dipersilahkan masuk juga. Aku rasanya gak mau
masuk. Mau ngapain juga masuk? Tapi pikiranku menyuruhku masuk, pikiranku
menganggap kalau aku tidak masuk itu akan menyinggung hati si pemilik rumah
*(penjahit).
Aku akhirnya masuk dan
duduk di pojok ruangan. Aku hanya diam dan menunduk. Menyibukkan diri dengan
ponsel yang sempat aku masukkan ke dalam saku jaket. Tapi sayangnya, hati
penjahit itu terlalu peka dengan apa yang sedang terjadi. Dia bertanya padaku
kenapa aku diam di sudut ruangan. Aku hanya diam. Aku sedikit enggan untuk
menggerakkan bibirku.
. . . . . . .
baca juga